Kamis, 14 Mei 2015

Naskah Drama "Hayati & Zainuddin"


Naskah Drama
Hayati & Zainuddin
(Bukan kisah cinta biasa)


[SCENE 1]
Diceritakan seorang pemuda yang tinggal di Makassar bernama Zainuddin.Ibunya telah meninggal di usianya 9 tahun, dan ayahnya yang bernama Pandekar Sultan telah meninggal ketika ia remaja. Kini, dirinya diasuh oleh orangtua angkatnya yang bernama Mak Base. Ketika ia mulai beranjak dewasa, timbulah keinginannya untuk merantau ke kampongnya, yakni Minangkabau. Ia juga ingin bersilaturahim dan melihat tanah nenek moyangnya.
Mak Base            : “ Sungguh tak terasa bagiku, engkau sudah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan, Zainuddin ”
Zainuddin            : “Ini semua berkat jasa Mak Base. Tapi ada satu hal yang saya inginkan, Mak.”
Mak Base            : “Apa itu, Zainuddin?”
Zainuddin            : “Izinkanlah saya untuk merantau ke tanah nenek moyang saya, tempat ayah saya dilahirkan. Saya sangat ingin melihat negeri itu.Dan saya bukan hanya sembarang pergi kesana, tapi saya akan menuntut ilmu agama dan ilmu dunia pula mak.”
Mak Base            : (tercenggang) “Tapi apakah engkau sudah siap menghadapi ketidakakuan mereka akan dirimu?”
Zainuddin            : ” Insyaallah saya sudah siap mak, asalkan mak memberi saya izin, agar saya tenang disana.”
Mak Base            : (Berpikir sejenak) “ Baiklah, jika itu keinginan kau. Pergilah, kejarlah cita-cita mu tuntutlah ilmu sebanyak-banyak nya, bawalah harta warisan ayahmu bersamamu untuk bekal mu disana. “
Zainddin               : “Baiklah Mak, saya akan persiapkan barang-barang saya dan segera pergi.”
Atas restu dari Mak Base, Zainuddin pun berangkat ke Minangkabau dengan kapal. Tak pernah terlintas dipikirannya bagaimana dia akan menghapi kehidupan disana, dan akan terjadi apa ketika disana. Dia hanya memikirkan kesenangan yang akan ia dapat di negeri itu. Padahal berjuta kesedihan menanti dirinya disana.
[SCENE 2]
Kini Zainuddin tiba di Dusun Batipuh, Minangkabau.Ia sangat takjub dengan keindahan alam dan tak henti-hentinya bertasbih. Setelah itu, ia mengunjungi rumah Mande Jamilah. Rencananya, ia hendak tinggal disana.
Zainuddin            : (mengetuk pintu) “ Assalamualaikum!”
Mande Jamilah : “Waalaikumsalam.Siapakah gerangan yang kau cari di tengah malam begini?”
Zainuddin            : “Saya Zainuddin dari Makassar.”
Mande Jamilah : “Zainuddin? Dari Makassar?”
Zainuddin            : “Saya anak Pendekar Sultan.”
Mande Jamilah : (membukakan pintu) “Oh, silakan masuk, nak!”
(Zainuddin dipersilahkan duduk di kursi tamu.)
Mande Jamilah : “Ada angin apa kau datang kemari, Zainuddin?”
Zainuddin            : “Saya ingin bersilaturahim ke tanah nenek moyang saya, Mande. Saya juga ingin belajar agama dan menetap untuk sementara waktu disini, jika Mande berkenan.”
Mande Jamilah : (dengan nada tidak senang) “Boleh saja, tapi….”
Zainuddin            : (menyodorkan uang) “Saya bisa membantu Mande dan saya berusaha untuk tidak merepotkan Mande.”
Mande Jamilah : (Menerima uang dengan senang) “Baiklah, Mande akan siapkan kamar untukmu.”

[SCENE 3]
Setiap hari, Zainuddin pergi ke surau untuk belajar mengaji. Tidak lupa ia mengenakan pakaian terbaiknya, Al-Quran pemberian Mak Base, dan peci yang bagus. Ia melangkah dengan senang hati dan berharap dirinya mendapatkan pahala yang banyak. Namun hari ini menjadi hari yang tidak terlupakan bagi Zainuddin.Hujan turun deras selepas mengaji membuat para murid mengaji terjebak dan tidak bisa pulang. Tepat di samping Zainuddin, berdirilah seorang gadis elok nan jelita dan langsung mencuri hati Zainuddin.
Hayati                   : (sedih, bergumam) “Bagaimana ini, aku tidak bisa pulang!”
Zakia                      : “Yasudahlah mau dikata apa lagi.” (pasrah)
Hayati                   : “Aku tidak boleh pulang terlalu larut.”
Zakia                      : “Begitupun aku. eh, Hayati. Di samping kau itu ada seorang pemuda.Dia terus melirik ke arahmu.”
Hayati                   : (kaget) “Benarkah? Mengapa dia terus melirikku?”
Zakia                      : “Entahlah, mungkin ia terpesona oleh kecantikanmu.”
Hayati                   : “Bagaimana ini…..”
Tiba-tiba, Zakia melangkah mundur dan tinggalah Hayati dan Zainuddin yang masih berdiri di teras masjid.
Zainuddin            : (menyerahkan payung) “Pakailah payungku, jika encik berkenan.”
Hayati                   : (tersenyum) “Jikalau aku yang memakai payung ini, lantas bagaimana dengan encik?”
Zainuddin            : “Saya bisa bermalam disini jika hujan tak kunjung reda.”
Hayati                   : “Tapi itu akan menyusahkan encik.”
Zainuddin            : “Tidak apa-apa. Segeralah pulang, keluarga encik pasti menunggu di rumah.”
Hayati                   : (membuka payung) “Kemana aku akan mengembalikan payung ini?”
Zainuddin            : “Saya Zainuddin, tinggal di rumah Mande Jamilah. Siapa nama encik? ”
Hayati                   : “Nama saya Hayati. Terimakasih banyak encik.Semoga hujan ini membawa berkah bagi kita semua.”
Dengan langkah berat, Hayati pulang dengan mengenakan payung milik Zainuddin.Sementara Zainuddin sendiri memperhatikan Hayati dengan terpana.
Zainuddin            : “Cantik betul Hayati itu, macam kembang yang mekar di tengah hujan.”

[SCENE 4]
Keesokan harinya, Zainuddin diam-diam membawa sepucuk surat dan membacanya sendirian di tempat yang sepi. Siapakah gerangan yang menulis sepucuk surat hingga membuat Zainuddin seperti itu? Tentu saja Hayati. Tadi sore, adik Hayati mengembalikan payung dan memberi sepucuk surat dari Hayati. Zainuddin sangat senang dan tidak sabar untuk membaca surat tersebut. Ketika membaca surat tersebut, Zainuddin tak henti-hentinya tersenyum.
Hayati                   : (dubbing) “Assalamualaikum Wr. Wb. Melalui surat ini saya pulangkan payung yang saya pinjam. Amat besar terimakasih saya atas bantuan tuan. Pertama, sewaktu turun hujan, Tuan telah sudi berbasah-basah memelihara diri seorang anak perempuan yang belum Tuan kenal.Kedua, kesyukuran saya lebih lagi saat berkenalan dengan Tuan.Rasanya hujan kemarin bukan hanya membawa basah.Tapi membawa rahmat.Moga-moga pada waktu kelak, saya dapat membalas budi Tuan.Hayati.”

[SCENE 5]
Takdir Zainuddin bernasib baik.Ia dan Hayati menjadi sahabat baik dan sering berkirim surat secara diam-diam. Selama mereka berkirim surat, Zainuddin mencurahkan isi hatinya perihal kehidupannya selama di Minangkabau. Saat Zainuddin berada di Makassar, ia dianggap sebagai orang Minang. Ketika Zainuddin berada di Minangkabau, ia dianggap sebagai orang makassar. Sampai pada suatu hari, Zainuddin menyatakan cinta kepada Hayati.Tentu saja gembira hati Hayati.Pada suatu hari, mereka memutuskan untuk bertemu.
Hayati                   : (muncul di balik Zainuddin)  “ Sudah lama agaknya encik menunggu saya?”
Zainuddin            : (menoleh dan berdiri) “Biar sampai matahari terbenam dan cahaya diberikan bintang-bintang, aku akan menunggu kedatangan mu.Sudahkah kau baca surat dariku?”
Hayati                   : “Sudah, encik.” (lalu terdiam, menunduk)
Zainuddin            : “Ada apa gerangan dengan surat yang kuberikan, Hayati?” (heran)
Hayati                   : “Jika encik mencintaiku maka akan banyak halangannya tuan, saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini yang kita tempuh.”
Zainuddin            : “ Jadi, apa yang kau harapkan?
Hayati                   : (dengan nada sedih) “Sebaiknya kita berteman saja.”
Zainuddin            : “Jika itu yang engkau inginkan, apalah daya diriku untuk memaksamu menerima hati ini. baiklah, kita berteman saja. Hari sudah petang, sebaiknya kita berpisah disini.” (berbalik dan pergi)
Zainuddin pulang dengan langkah dan hatinya terasa sakit. Tidak seharusnya ia menyatakan perasaannya kepada Hayati karena ia memang tidak pantas untuk Hayati.
Namun ternyata, kedepannya Zainuddin akan terkena masalah. Karena salah satu tetua adat memata-matainya dan mencuri dengar dialog antara Zainuddin dengan Hayati.

[SCENE 6]
Malam ini langit mendung.Tidak ada bintang yang menghiasi malam, yang ada hanya semilir angin yang menusuk kulit.Zainuddin dipanggil Mande Jamilah.Tatapan Mande Jamilah sangat serius sehingga Zainuddin berfirasat telah terjadi sesuatu yang buruk.
Mande Jamilah : “Zainuddin, segera tinggalkan Batipuh.”
Zainuddin            : “Ada apa gerangan, Mande?”
Mande Jamilah : “Nama kau menjadi bahan omongan di dusun ini. mande dengar, ada beberapa anak muda yang bermaksud jahat kepadamu. Pergilah ke Padang Panjang dengan segera.Disana, Mande punya cucu bernama Mila.Di dekat rumahnya ada guru agama.Belajarlah dengan tenang disana, Zainuddin.”
Zainuddin            : (terpaku) “Apakah kehadiranku disini mendatangkan bahaya?”
Mande Jamilah : “Ya, Zainuddin. Kau tahu mengapa?Karena kau sering bercakap dengan Hayati.Tetua adat sangat marah mendengar kau dekat dengan Hayati.Karena kau bukanlah orang asli disini.Mereka akan melakukan apa saja untuk memisahkanmu dengan Hayati.”
Zainuddin            : “Tapi, cintaku kepadanya suci, Mande. Tidak sekalipun aku melanggar sopan santun.Aku yakin Hayati adalah wanita yang Allah titipkan untuk saya.”
Mande Jamilah : “Zainuddin, Mande mohon, pergilah. Kalau kau tak segera pergi, mereka terus mengejarmu dan kau akan terusir.”
Zainuddin berpikir sejenak. Tentu saja meninggalkan Batipuh adalah hal yang berat, terutama ia harus meninggalkan Hayati. Namun demi kebaikan bersama, Zainuddin mengalah dan dengan hati yang berat ia meninggalkan Batipuh.


[SCENE 7]
Zainuddin berangkat ke Padang Panjang.Sebelum berangkat, Hayati dengan wajah pucat pasi datang menghampiri Zainuddin.
Hayati                   : “Engku Zainuddin!”
Zainuddin            : “Hayati? Bagaimana kau tahu aku disini?”
Hayati                   : “ Ini adalah tempat dimana kau sering menulis.”
(terdiam)
Hayati                   : “Zainuddin, aku dengar kau akan meninggalkan Batipuh hari ini. walaupun encik pergi, jiwamu akan selalu dekat dengan jiwaku. Zainuddin, cinta itu bukan untuk melemahkan hati, bukan juga membawa tangis.Tetapi cinta itu menguatkan hati.”
Zainuddin            : “Hayati, kau adalah sosok yang membuat aku menjadi berani menelusuri hidup ini. tapi, kau pula yang menjadikanku sengsara selamanya.”
Hayati                   : “Hatiku dipenuhi cinta kepadamu. Dan biarlah Tuhan mendengar hati saya, bahwa engkaulah yang menjadi suamiku kelak.Bila tidak di dunia, maka aku janji di akhirat kelak.Aku tidak akan menghianati janji saya, Zainuddin.”
Zainuddin            : “Hayati…….”
Hayati                   : (melepas selendang) “Simpan ini sebagai azimatmu .Semoga kau sukses di Padang Panjang. Akan aku usahakan untuk berkirim surat kepadamu. Selamat tinggal, Zainuddin.”
Lalu, Hayati perlahan pergi.Diam-diam, Zainuddin tersenyum sambil memegang erat selendang milik Hayati.

[SCENE 8]
Waku perlahan berlalu dan Zainuddin kini tinggal di Padang Panjang.Kehidupan di Padang Panjang sedikit lebih modern daripada saat di Batipun.Zainuddin sering pergi mengaji, belajar agama, dan menulis cerita. Tidak lupa ia berkirim surat dengan Hayati. Hingga pada suatu hari, Hayati mengabarkan bahwa ia akan ke Padang Panjang untuk menemui temannya, Khodijah. Dengan begitu, mereka dapat bertemu dan melepas rindu.
Inilah Hayati, telah tiba di depan rumah Khodijah. Perjalanan yang melelahkan terbayar karena ia akan segera bertemu Zainuddin, kekasihnya.
Hayati                   : “Assalamu’alaikum, Khodijah! Ini aku, Hayati!”
Khodijah              : (berlari dan memeluk Hayati) “Waalaikumsalam. Onde mande! Lihatlah kawanku ini telah datang!”
(munculah Aziz dan menghampiri Hayati dan Khodijah)
Khodijah              : “Bagaimana kabarmu, Hayati? Aku rindu sekali padamu.”
Hayati                   : “Alhamdulillah baik, Khodijah.”
Khodijah              : “Kenalkan, ini abangku, namanya Aziz. Abang, ini Hayati, gadis yang sering aku ceritakan.”
Aziz                        : (Terpana, diam beberapa saat) “Aku tak percaya bahwa Hayati yang kau ceritakan bukan hanya sekadar cantik, melainkan memikat hatiku. Senang bertemu denganmu, Hayati”
Hayati                   : (menunduk) “Salam kenal, Bang Aziz.”
Khodijah              : “Mari masuk kedalam, aku sudah menyiapkan masakan untukmu, kau pasti lelah.”
Lalu, Hayati dan Khodijah masuk ke dalam rumah. Tinggalah Aziz yang masih terpana akan kecantikan Hayati. Ia tidak bisa melepaskan pandangannya bahkan hanya melihat punggung Hayati. Namun, Hayati sendiri merasa ada sesuatu yang tidak beres ketika melihat Aziz tadi.

[SCENE 9]
Zainuddin cemas karena memikirkan penampilannya untuk bertemu dengan Hayati.Ia tidak dapat meneruskan tulisannya hanya karena hal itu.
Mila                       : “Hei Zainuddin, macam setrikaan saja kau mondar mandir! Ada apakah gerangan?”
Zainuddin            : “Kau tahu kan, aku akan bertemu dengan kekasihku, Hayati. Aku khawatir ia kecewa dnegan penampilanku yang jelek seperti ini.”
Mila                       : “Serahkan saja urusan itu kepadaku! Mudah sekali aku akan merubah penampilanmu. Kau ingin penampilan yang macam mana?.”
Zainuddin            : “Hm…. Kurasa aku tahu…”





[SCENE 10]
Matahari bersinar cerah, pertanda hari baik.Dengan semangat Zainuddin melangkah menuju tempat yang Hayati janjikan untuk bertemu.Namun, senyum yang tadinya menghias di wajah Zainuddin seketika lenyap saat melihat Hayati datang dengan seorang laki-laki.
Zainuddin            : “Hayati!”
Hayati                   : (berlari kea rah Zainuddin) “Zainuddin!”
Zainuddin            : “Aku rindu sekali denganmu. Rindukah kau padaku?”
Hayati                   : “Tak perlulah kau bertanya, jawabannya pasti ya, aku merindukanmu.”
Aziz                        : (berdehem) “Ah, hari ini nampaknya cerah.”
Zainuddin            : “Siapakah dirimu?”
Aziz                        : “Siapa aku? Aku adalah Aziz.Pemuda kaya raya yang terpandang di Padang Panjang.Lalu, siapakah dirimu?”
Zainuddin            : “Aku adalah Zainuddin, kekasih Hayati.”
Aziz                        : (menoleh ke Hayati) “Benarkah apa yang dia cakap, Hayati?”
Hayati                   : (malu-malu tersenyum) “Benar, Engku Aziz.”
Aziz                        : (nada marah) “Mari pulang, Hayati. Khodijah pasti khawatir akan dirimu.”
Hayati                   : “Aku baru saja bertemu Zainuddin. Engku bisa pulang dahulu dan berkata bahwa aku bersama Zainuddin.”
Aziz                        : “Kalau aku berkata pulang, maka kau harus pulang.”
Zainuddin            : “Hei, kau tak bisa memaksa Hayati.”
Aziz                        : “Diamlah, sebentar lagi Hayati menjadi milikku.”
Zainuddin            : (marah) “Seberapa hebatnya dirimu sampai berani berucap seperti itu, hah?”
Hayati                   : “Hentikan! Apalah guna beradu mulut?yang ada hanya mendatangkan amarah. Zainuddin, aku pamit dulu. Esok kita akan bertemu lagi. Engku Aziz ini permintaannya memang harus dituruti. Maafkan Hayati, kekasihku.”
Lalu Aziz membawa Hayati pulang. Dirinya dipenuhi kemenangan sehingga tak henti-hentinya ia tersenyum. Sepertinya, ia telah jatuh hati kepada Hayati dan akan berusaha memisahkah Hayati dengan Zainuddin. Sementara Zainuddin sendiri sangat marah.Ia hanya bisa menatap Hayati pergi, tanpa bisa mencegahnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Entahlah.Yang pasti setelah itu tidak ada pertemuan kebahagiaan antara Hayati dengan Zainuddin.

[SCENE 11]
Hayati melanggar janjinya.Pada keesokan harinya, nia tidak kunjung datang menemui Zainuddin.Juga pada hari-hari selanjutnya. Suatu hari, ketika Zainuddin hampir melupakan Hayati, datanglah sepucuk surat. Dengan segera Zainuddin membaca surat yang berasal dari Hayati itu.
Hayati                   : (dubbing) “Assalamu’alaikum Wrb.Wb. Untuk Zainuddin, kekasihku. Aku yakin kau tidak bisa memaafkanku karena kita tak jadi bertemu.Tapi, biarlah Tuhan yang tahu isi hatiku yang sebenarnya dan seberapa menyesalnya diriku.Surat ini bisa saja yang terakhir bagi kita.Aziz, pemuda yang kemarin bersamaku datang ke Batipuh untuk meminangku.Dengan senang hati Tetua Adat merestuinya.Mengapa?Karena Aziz tetua adat sangat menyukai Aziz.Lalu, apakah aku cinta dengan Aziz?Biarlah waktu yang menumbukannya.Aku sangat ingin kau yang menjadi suamiku, Zainuddin. Tapi, ternyata Allah berkehendak lain. Maafkan aku, Zainuddin.Wassalamualaikum.”
Lalu, Zainuddin merobek surat itu dan menangis. Ia tidak percaya bahwa Hayati dengan mudah menghianati cintanya dan memilih laki-laki lain.

[SCENE 12]
Pernikahan Hayati dan Aziz dilangsungkan dengan adat dan pesta yang meriah. Namun malang nasib Zainuddin. Datang berita dari Makassar bahwa Mak Base telah meninggal dunia karena sakit.Zainuddin tidak dapat melayat Mak Base karena dirinya sendiri pun sedang terpuruk. Sudah seminggu ia hanya makan sedikit. Jangankan bercakap dengan Mila, keluar kamarpun tidak pernah, kecuali berwudhu.Mila yang sudah menganggap Zainuddin sebagai kakak pun bingung dibuatnya. Oleh sebab itu ia memanggil dokter untuk menanyakan kondisi Zainuddin. Dan dengan nekat ia memanggil Hayati pula.
Mila                       : (menatap Zainuddin dengan sedih) “Lihatlah dokter, abang ini tidak mau beranjak. Jiwanya sangat melemah.”
Dokter                  : “Apakah dia memiliki masalah?”
Mila                       : “Hayati, perempuan yang ia cintai telah menikah dengan laki-laki lain. Dan Mak Base, orangtua angkatnya telah meninggal. Ia seperti tidak tahu kemana ia akan pulang.”
Zainuddin            : (bangun) “Hayati? Itukah engkau?Aku menunggumu disini.Mari, duduklah disampingku.” (menghampiri Dokter)
Mila                       : (panic) “Bang, sadarlah! Ini dokter bang, bukan Hayati!”
( Dokter mengisyaratkan agar Mila diam saja)
Zainuddin            : “Seminggu rasanya aku ingin mati saja. Aku sangat merindukanmu.”
Dokter                  : “Zainuddin ini bukan hanya sakit, melainkan jiwanya menderita. Ia harus bertemu Hayati, walaupun hanya sekali.”
(terdengar pintu terbuka)
Hayati                   : “Assalamu’alaikum.”
Mila                       : “Waalaikumsalam. Bang, ini Hayati telah datang.”
Zainuddin            : (berdiri) “Oh Hayati, aku tahu kau tak akan menghianatiku.”
Hayati                   : (menangis) “Maafkan Hayati, Zainuddin.”
Zainuddin            : “Apa yang kau bicarakan? Aku telah siap menikah denganmu.Bahkan cincin pun telah kubeli.”
(Hayati terdiam)
Zainuddin            : (mengambil cincin) “Kemarikan tanganmu, Hayati. Biar kupasangkan cincin yang indah ini.”
(Hayati masih terdiam, menangis)
Lalu, Zainuddin menggenggam tangan Hayati. Betapa terkejutnya ia bahwa di jari manis Hayati, terpasang sebuah cincin. Ia menatap Hayati dengan kecewa, sangat kecewa.
Zainuddin            : “Cincin yang kau kenakan ternyata jauh lebih indah. Rupanya kau telah menjadi milik oranglain.Maka tak pantaslah aku menyentuh tanganmu.”
Hayati                   : “Zainuddin…..”
Zainuddin            : (kembali berbaring dan membelakangi semua) “Pergi semuanya! Keluar! Aku tak akan berhubungan dengan mereka lagi!”
Ketika Hayati hendak menepuk pundak Zainuddin, dengan kasar, Aziz menarik Hayati dan menyeretnya keluar.Semua tampak bersedih pada hari itu.

[SCENE 13]
Bukan Zainuddin namanya Bukan Zainuddin namanya kalau terus menerus terpuruk.Setelah dokter merawatnya, kondisinya kembali membaik dan mulai melupakan Hayati.Ia dan Mila memutuskan untuk pergi ke Pulau Jawa, tepatnya ke Kota Surabaya karena kata orang, banyak pekerjaan yang akan menghasilkan uang di Surabaya.
Zainuddin memulai untuk menulis kembali. Setelah itu, ia mengirimkan karyanya ke sebuah penerbit koran. Dalam waktu singkat, karyanya diterima dan dimuat.Tidak hanya itu, cerpennya dibaca banyak orang dan menjadi terkenal di kalangan masyarakat. Maka pihak koran meminta Zainuddin untuk membuat kelanjutan cerpen yang berjudul “Teroesir” itu. Dengan semangat Zainuddin terus menulis, menulis, dan menulis.Sampai pada akhirnya, cerpen-cerpen Zainuddin dibukukan.
Waktu berjalan dengan terasa cepat. Kesuksesan menghampiri Zainuddin dan ia dapat membeli rumah sendiri. Walaupun sudah sukses, Zainuddin tidak sombong.Ia malah sering memberis edekah kepada orang yang kurang mampu.
Mila                       : “Lihatlah dirimu sekarang, Zainuddin! Kau telah sukses. Namun kau tidak pernah sombong dan pelit! Aku sangat bangga menjadi temanmu.”
Zainuddin            : “Ah, kau ini terlalu berlebihan, Mila. Aku ini tetap Zainuddin yang dulu.Hanya saja, aku bangkit dari masa laluku yang kelam.”
Mila                       : “Hm….bagaimana kabar Hayati dan Aziz ya? Apakah mereka bahagia??”
Zainuddin            : “Sudahlah Mila. Tak usah kau pikirkan, mereka pasti bahagia.Aziz adalah laki-laki yang kaya raya, mapan dan sangat pantas untuk Hayati.Dan jangan membicarakan masa lalu itu.”
Mila                       : “Baiklah, maafkan aku. Tapi, bagaimana kalau kau bertemu dengan mereka?Bukankah kita harus menyambung tali silaturahim?”
Zainuddin            : (menatap ke atas) “Entahlah Mila, aku belum siap.”

[SCENE 14]
Sudah lama Aziz dan Hayati menetap di Surabaya. Aziz mendapat pangkat tertinggi di pekerjaannya sehingga ia mendapatkan uang banyak. Hayati kini hidup berkecukupan, walaupun hanya mengurus rumah. Perlahan, ia merasa bahagia hidup dengan Aziz. Ia terus berusaha menjadi istri yang baik, walaupun Aziz sering memarahinya. Suatu hari, Zakia, teman Hayati saat di Batipuh datang mengunjunginya.
Zakia                      : “Assalamu’alaikum, apa benar ini rumah Hayati dan Aziz?”
Hayati                   : “Waalaikum salam. Siapa disana?”
Zakia                      : “Aku Zakia.”
Hayati                   : (segera berlari dan buka pintu) “Onde mande Zakia! Aku sangat rindu padamu!”
Zakia                      : “Begitupun aku, Hayati! Bagaimana kabarmu?”
Hayati                   : “Alhamdulillah, perlahan aku mulai bahagia dengan Aziz.”
Zakia                      : “Syukurlah kalau begitu.Aku turut bahagia mendengarnya.”
Hayati                   : “Mengapa kau datang tanpa sepengetahuanku? Aku kan bisa menyiapkan makanan untukmu.”
Zakia                      : “Hei, tak usah berlebihan, Hayati. Aku kesini datang untuk menemuimu, dan kebetulan akan ada pertemuan dengan pengarang buku beberapa hari lagi.”
Hayati                   : “Pengarang buku?” (heran)
Zakia                      : “Masa kau tidak tahu, Hayati? Ada sebuah buku berjudul Teroesir.Buku itu kini banyak pembacanya karena ceritanya sangat menyedihkan.Aku saja membaca berkali-kali.Dan pengarang buku tersebut tinggal di Surabaya.”
Hayati                   : “Benarkah? Wah aku tidak tahu sama sekali.”
Zakia                      : (geleng kepala) “Bagaimana kau ini Hayati. Ini, kupinjamkan bukuku.”
(Hayati memperhatikan sampul buku Teroesir)
Zakia                      : “Ketika aku membaca buku itu, aku teringat akan kisahmu dengan Zainuddin. Benar-benar persis.”
Hayati                   : “Z? pengarangnya hanya Z?”
Zakia                      : “Itu hanya inisial, Hayati. Entah mengapa aku yakin bahwa itu adalah Zainuddinmu.”
Hayati terkejut ketika melihat inisial pengarang buku tersebut.Ia juga sependapat dengan Zakia bahwa yang mengarang buku tersebut adalah Zainuddin. Seketika, pikirannya dipenuhi dengan kenangan akan Zainuddin. Ia bertekad untuk membaca buku tersebut.

[SCENE 15]
Beberapa hari kemudian, Aziz mendapatkan sebuah undangan.Yaitu undangan pesta sebuah pengarang buku. Tak lain adalah pengarang yang berinisial Z. dengan semangat, Hayati meminta Aziz untuk menhadiri undangan tersebut. Walaupun curiga, Aziz menuruti permintaan Hayati.Setibanya di undangan, betapa terkejutnya Hayati dan Aziz bahwa pengarang yang berinisial Z adalah Zainuddin.Ia berdiri gagah dengan percaya diri, beberapa pejabat menyalaminya. Dan yang mengejutkan adalah: Zainuddin tersenyum bahagia. Betapa luluh hati Hayati melihat Zainuddin.Aziz segera menghampiri Zainuddin.
Zainudin          : (tersenyum ramah) “Oh tuan Aziz ! Dan… Rangkayo Hayati ! Sudah lama tinggal di Surabaya ini ?”

Aziz                 : “Sudah 3 bulan.”

Zainudin          : “Ajaib sekali, sekian lama di Surabaya, baru sekali ini kita bertemu.”

Aziz                 : “Kami pun tak menyangka bahwa pengarang ternama ahli tonil yang selalu jadi buah mulut orang lantaran tulisan-tulisannya yang berarti itu adalah sahabat kami.Tuan Za..”

Zainudin          : (memotong) “Shabir !tidak ada lagi nama yang lama. Nama Shabir lebih cocok, bukan ?”

Aziz                 : “Semua nama cocok buat orang seperti tuan.”

Zainudin          : “Ah bisa saja tuan Aziz ini.”

Hayati tidak bisa berkata apa-apa.Ia bersembunyi di balik Aziz sambil emnunduk. Sementara itu, Zainuddin tidak melirik Hayati.Ia sibuk menyalami yang lain. Sebenarnya, Hayati sangat ingin berbicara dengan Zainuddin.Namun, sepertinya Zainuddin sangat sibuk.Rasanya, dunia telah jungkir balik.




[SCENE 16]
Rumah tangga Hayati dan Aziz semakin lama kian memburuk.Mereka sering bertengkar hanya karena masalah sepele.Tidak hanya itu, entah mengapa keuangan mereka juga terpuruk.
Hayati                   : (meletakkan makanan) “Silakan dimakan Bang Aziz.”
Aziz                        : (menatap makanan dengan jijik) “Aku tidak mau makan makanan kampung seperti ini!”
Hayati                   : (menunduk) “Kita sudah tidak ada uang lagi. Abang tak pernah kasih aku uang sejak kemarin.”
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu yang sangat keras.Hayati dan Aziz segera membukakan pintu.Ternyata, yang datang adalah Mas Jarwo, seorang laki-laki Jawa dengan raut wajah yang galak.
Mas Jarwo          : “Bayar hutangmu!”
Aziz                        : “Saya sudah bayar.”
Mas jarwo           : “Kamu baru bayar 1/3 saja! Hutangmu itu numpuk, wes jatuh tempo!”
Hayati                   : “Ada apa ini ya?”
Mas Jarwo          : “Bisa diem tak? Jangan bela suamimu ini! heran saya, bisa-bisanya kamu mau sama dia! Sudah ketipu kamu!”
(Aziz hanya terdiam)
Mas Jarwo          : “Bayar! Kalau tak bayar barang-barangmu tak sita kabeh!”
Hayati                   : (ketakutan) “Bang, bagaimana? Pinjam dulu ke kantor?”
Mas Jarwo          : (marah) “Kantor opo? Suamimu iki udah seminggu ndak ngantor! Dia dipecat!”
Hayati                   : “Bang Aziz…..”
Mas Jarwo          : “Kabeh, sita itu barang-barang! Kabeh!”
Lalu Mas Jarwo dan anak buahnya menerobos masuk dan menyita barang-barang milik Hayati dan Aziz.Aziz bukannya melawan malah menunduk pasrah.Sementara itu, Hayati menangis karena snagat terpukul.




[SCENE 17]
Barang-barang Hatai dan Aziz telah habis disita.Kecuali beberapa pakaian mereka.Mereka telah jatuh miskin.Setelah itu, Aziz nekat untuk meminta bantuan kepada Zainuddin.Maka, Hayati dan Aziz datang ke rumah Zainuddin.Dengan baik hati Zainuddin mau membantu mereka. Rencananya Aziz akan merantau untuk mencari pekerjaan baru dan ia menitipkan Hayati di rumah Zainuddin.
Aziz                 : “Begini saudara saya sudah banyak meminta pertolongan kepada saudara. Dan saya ingin meminta pertolongan itu satu lagi.”

Zainudin          : “apa yang bisa saya bantu ?”

Aziz                 : “Saya hendak mencari pekerjaan diluar Surabaya. Jadi saya hendak menitipkan istri saya di rumah saudara.”

Zainudin          : “Saya tak keberatan bila Hayati tinggal disini, tapi bagaimana kalau Hayati pulang dulu ke Padang.”

Aziz                 : “Tidak bisa itu, tidak Malu !”

Zainudin          : “Bagaimana Hayati ?”

Hayati              : “Saya hanya bisa menurut.”

Zainudin          : “Baiklah, jika itu keputusan kalian, satu pintaku untukmu Aziz, ubahlah perilakumu.”

Aziz                 : “Saya berjanji saudara.”


[SCENE 18]

Setelah kepergian Aziz dari rumahnya terjadi kebiasaan yang baru, yaitu Zainudin menjadi lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah, di rumah dia hanya makan dan tidur saja.Hingga pada suatu malam Zainudin tak kunjung pulang, Hayati menunggunya dengan tak sabar karena sudah datang waktu makan, dan dia bertanya kepada Mila.Ternyata jawaban dari Mila itu sangat membuat hati Hayati menyesal dan sedih.
Hayati                   : “Mengapa Zainudin tak kunjung pulang?”

Mila       : “Barangkali tengah malam baru dia kembali, sebab banyak urusannya diluar.”

Hayati                   : “Mengapa sejak saya disini dia bagai orang yang ketakutan saja ? Adakah kedatangan saya memberatkannya ?”

Mila       : “Bukan Encik, encik jangan salah terima padanya.”

Hayati                    : “Mengapa kamu larang saya mendekat ke kamar tulisnya.”

Mila       : “Ah encik, “

Hayati                    : “Sudah terlalu lama saya makan hati berulam jantung disini. Berilah saya kepastian, masih dendamkah dia kepada saya ?Masih belum adakah pada engku Zainudin maaf kepada saya.”

Mila       : “Encik !marilah ikut saya ke ruangan Zainuddin. Akan saya tunjukkan sesuatu.”

Lalu Mila menuntun Hayati ke ruangan Zainuddin. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati foto Hayati terpampang di meja kerjanya. Hayati menangis dan tanpa dijelaskan pun, ia sudah menemukan jawabannya. Ya, Zainuddin sudah memaafkannya, bahkan ia masih mencintai Hayati.

Mila                       : “Abang Zainuddin ini sejak kecil sudah hidup terpuruk. Namun setelah ia bertemu dengan encik, ia menjadi semangat menjalani hidup. Tapi sayangnya, encik lebih memilih laki-laki lain yang lebih gagah, mapan dan kaya.Setelah itu, kehidupannya kembali terpuruk. Dankini ia telah berubah namun hatinya tidak. Ia masih mencintai engku.”

Hayati                   : “Oh Mila, Betapa jahatnya aku sebagai wanita.”

[SCENE 19]
Tak lama kemudian, datanglah kabar bahwa Aziz telah meninggal.Ia dinyatakan bunuh diri setelah memakan obat tidur yang berlebihan. Bersamaan dengan berita itu, datang sebuah surat cerai dari Aziz dan pernyataan bahwa Aziz mengembalikan Hayati kepada Zainuddin. Rupanya sebelum meninggal, Aziz menuliskan surat itu. Hayati menangis sejadi-jadinya atas kedua kabar tersebut.Kondisi kesehatannya semakin memburuk.Zainuddin memutuskan untuk mengembalikan Hayati ke kampungnya.
Hayati              : “Saya akan berkata terus terang kepadamu, saya akan memanggil namamu sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan, Zainudin !saya akan sudi menanggungkan segenap cobaan yang menimpa diriku itu, asal engkau sudi memaafkan segenap kesalahanku.”

Zainudin          : “Maaf ? Kau meminta maaf Hayati ? Setelah segenap daun kehidupanku kau regas, segenap pucuk pengaharapanku kau patahkan, kau meminta maaf ?”

Hayati              : “Mengapa engkau telah menjawab sekejam itu padaku Zainudin ? Lekas sekalikah pupus daripada hatimu keadaan kita ?Kasihanilah seorang perempuan yang ditimpa celaka berganti-ganti ini.”

Zainudin          : “Ya, demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walaupun kecil, dan dia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain walaupun bagaimana besarnya. Lupakah kau ? Siapa diantara kita yang kejam, setelah aku diusir kau berjanji padaku akan menunggu ku hingga aku kembali, tapi kau menikah dengan dia ! Hampir saya mati karena mu, siapa yang kejam ?siapa ? Sudah lah pulanglah kau ke tanah asalmu yang beradat itu ! Ongkosmu biar aku yang bayar, biaya hidupmu biar aku yang tanggung.”

Hayati              : “Tidak !saya tidak akan pulang saya akan tinggal disini denganmu.. Saya tak perlu uang mu, saya hanya butuh berada didekatmu !”

Zainudin          : “Tidak Hayati kau harus pulang ke Padang ! Biarkanlah saya dalam keadaan begini, Janganlah hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal ! Negeri Minangkabau Beradat. Besok ada kapal berlayar, kau bisa tumpangi kapal itu, ini ambil untuk belanja buat pulang !”

Setelah itu, dengan angkuh Zainuddin pergi meninggalkan Hayati yang kian melemah.Maka keesokan harinya diantar Mila, Hayati pergi ke pelabuhan untuk pulang ke Dusun Batipuh.
Hayati                   : “Mila, tolong katakan kepada Zainuddin. Saya mencintainya. Saya benar-benar menyesal atas apa yang telah saya perbuat. Jika Zainuddin masih tidak memaafkan saya, tidak apa-apa.Setidaknya saya telah berusaha meminta maaf.”
Mila                       : “Maafkan abang itu yang telah memarahi engku tadi malam, Hayati.”
(berpelukan)
Hayati                   : “Saya pamit dulu ya, Mila. Assalamualaikum.”
Mila                       : “Waalaikumsalam.”
Lalu, berangkatlah Hayati dengan perasaan bersalah yang teramat dalam.

[SCENE 20]
Setibanya Hayati di kampung, ia jatuh sakit. Hayati telah menceritakan semuanya kepada Tetua Adat dan mereka sangat menyesal karena telah memaksa Hayati untuk menikahi Aziz.Sakit yang diderita Hayati tak kunjung sembuh, bahkan sudah sebulan lamanya.Hayati tidak dapat bangun, sekujur tubuhnya sulit di gerakan. Dan ia terus memanggil nama Zainuddin.
Zakia yang prihatin mengirimkan surat untuk Zainuddin. Ia meminta Zainuddin untuk datang menemui Hayati karena sepertinya hidup Hayati tidak akan lama lagi. Setelah surat itu diterima Zainuddin, betapa terkejutnya ia dan segera berangkat ke Padang.
Setibanya Zainuddin di Dusun Batipuh, kediaman Hayati tengah ramai oleh penduduk.Zainuddin berusaha menerobos dan mendapati Hayati dengan wajah pucat.
Zainuddin            : “Hayati…..”
Hayati                   : “Zainuddin, kau disini?” (berusaha mencari Zainuddin)
Mande Jamilah : “Zainuddin, tadi malam Hayati mengalami kejang-kejang dan sekarang ia tak dapat melihat.”
(semua menunduk)
Zainuddin            : “Tidak mungkin…..”
Zakia                      : “Lihatlah encik, sepertinya hari ini hari terakhirnya.”
Hayati                   : “Zainuddin, bisakah kau memaafkanku?”
Zainuddin            : (menggenggam tangan Hayati) “Dalam perjalananku ke sini, aku telah memaafkanmu, Hayati. Tapi berjanjilah kau akan sembuh.”
Hayati                   : (menggeleng) “Setiap hari aku bermimpi berada di surga bersamamu. Untuk itu aku memintamu untuk membisikkan syahadat.”
Zainuddin            : “Belumlah saatnya, Hayati. Janganlah kau berbicara seperti itu.”
Hayati                   : “Ucapkanlah Zainuddin. Kelak kau akan menyusul denganku di Surga.”
Zainuddin            : “Asyhadu alaa ilahaillallah. Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.”
Hayati                   : “Ucapkan sekali lagi Zainuddin.”
Zainuddin            : “Tidak, kau masih tetap hidup, Hayati”
Hayati                   : “Tapi aku sudah melihat ada yang menjemputku. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya.”
Zakia                      : “Sebaiknya encik turuti permintaannya.”
Zainuddin            : “Asyhadu alaa ilahaillallah. Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.”
Hayati                   : “Asyhadu alaa ilahaillallah. Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.”
Maka setelah mengucapkan kalimat suci itu, kedua mata Hayati terpejam dan menjemput kemuliaan di Surga.Semua yang hadir menangis namun Hayati, meninggal dengan tenang.


[EPILOG]
Begitulah takdir Tuhan.Terkadang kita dipertemukan bukan berarti untuk hidup bersama.Dan karena tidak bisa bersama, bukan berati saling membenci apalagi mendendam. Setelah Zainuddin mengikhlaskan kepergian Hayati, ia kembali ke Surabaya untuk menempuh hidupnya dengan semangat. Ia tidak akan terpuruk lagi. Dan tahukah kalian siapa yang membuat hati Zainuddin kembali berbunga-bunga? Dialah Mila yang setia menemaninya sekalipun ia terpuruk.
SEKIAN.



 
Kelompok 4
Bahasa Indonesia
XI. MIA. 4
SMAN 1 Tambun Selatan
2014-2015

Terinspirasi oleh cerita/film:
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”
Karya : Buya Hamka



















2 komentar: